SASTRA
INDONESIA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Sastra
Daerah
Dosen
Pengampu : Ramadhan, KY, M. Pd.
Oleh:
Angelina
Yosi : 511300114
Dewi Ratna :
511300091
Falentina Metadias N : 511300174
Pelisia :
511300026
Stephani Agnesia Natalia : 511300172
Sutina Pardianti : 511300105
Tri Ramadhanti : 511300004
Yulia Veronika K :
511300089
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
BAHASA DAN SENI
INSTITUT
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN
GURU REPUBLIK INDONESIA
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis
haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya,
sehingga penulisan makalah ini dapat
terselesaikan pada waktunya. Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Sastra Daerah yang diampu oleh bapak Ramadhan,
KY, M. Pd.
Makalah ini disusun berdasarkan referensi yang telah ada
sebelumnya di mana dalam pembahasannya lebih menuju pada cakupan materi yang
diambil dari sumber kepustakaan. Makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi isi, bentuk maupun
dari segi penulisannya. Hal tersebut disebabkan keterbatasan penulis dalam hal pengetahuan dan pengalaman. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif
(membangun) dari pembaca dan pihak-pihak terkait demi perbaikan dan kesempurnaan
makalah ini.
Penulis
menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu dalam penulisan makalah ini. Ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada dosen mata kuliah Sastra Daerah yaitu bapak Ramadhan, KY, M. Pd. selaku dosen pengampu yang telah memberikan banyak bimbingan.
Akhir kata penulis
berharap agar makalah ini dapat berguna bagi semua pihak, khususnya bagi
mahasiswa untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan prestasi yang dimilikinya
terutama pada mata kuliah Sastra Daerah.
Pontianak, April 2015
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR................................................................................. i
DAFTAR
ISI.................................................................................................
ii
BAB
I PENDAHULUAN............................................................................
1
A.
Latar Belakang....................................................................................
1
B.
Rumusan Masalah...............................................................................
2
C.
Tujuan.................................................................................................
2
D.
Manfaat...............................................................................................
3
BAB
II PEMBAHASAN..............................................................................
4
A.
Metode Penelitian Sastra dan Pola dari Barat.................................... 4
B.
Warna Lokal Sunda dan Sundalogi....................................................
7
C.
Telaah Sastra Akademis Identik dengan Keformalan....................... 11
D.
Awal dan Kelanjutan Penelitian Apresiasi Sastra.............................. 13
E.
Mencegah Verbalisme Literer............................................................
15
BAB
III PENUTUP.....................................................................................
18
A.
Simpulan............................................................................................
18
B.
Saran..................................................................................................
19
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................
20
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sastra merupakan salah
satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia tidak dapat
ditolak, bahkan kehadiran tersebut diterima sebagai salah satu realitas sosial
budaya. Hingga saat ini sastra tidak saja dinilai sebagai sebuah karya seni
yang memiliki budi, imajinasi dan emosi, tetapi telah dianggap sebagai suatu
karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual disamping konsumsi
emosi.
Istilah sastra dalam
bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta; akar kata “sas” biasanya menunjukkan alat/sarana.
Awalan “su” berarti baik, indah, sehingga susastra dapat dibandingkan dengan belles-lettres (Teeuw. 1988:23). Kata
sastra tersebut mendapat akhiran
“tra” yang biasanya
digunakan untuk menunjukkan
alat atau sarana. Maka itu sastra dapat berarti alat
untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran.
Melalui karya sastra, seorang pengarang
mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di
dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu
memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat
menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan
sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak
dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang
membesarkan sekaligus membentuknya. Sastra menyajikan
gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari
kenyataan sosial.
|
Sastra Indonesia adalah keseluruan teks sastra
(kesusastraan) berbahasa Indonesia yang tumbuh pada awal abad ke-20. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sastra
Indonesia yaitu sastra berbahasa Indonesia. Sedangkan hasilnya adalah sekian
banyak puisi, cerita pendek, novel, roman dan naskah drama berbahasa Indonesia.
Pada kenyataanya telah berkembang sastra-sastra
daerah : Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Toraja, Lombok, dan
sebagainya. Dalam konteks wilayah pertumbuhan dan perkembanggannya secara
nasional, berbagai sastra daerah itu dapat disebut juga sastra Indonesia dengan
pengertian sastra milik bangsa Indonesia.
Apabila dihubungkan dengan usaha mewujudkan kebudayaan nasional,
jelaslah bahwa sastra daerah itu merupakan unsur kebudayan nasional.
Pesatnya
perkembangan sastra Indonesia modern, merupakan akibat langsung pemanfaatan
teknologi modern, yaitu percetakan yang juga disebarluaskan melalui sistem
komunikasi modern. Hasil-hasil karya dapat digandakan secara massal dan dapat
dinikmati di seluruh pelosok tanah air dalam waktu yang relatif singkat. Sastra
modern menyajikan peristiwa aktual yang terjadi sehari-hari, cerita-cerita yang
sangat akrab dengan masyarakat kontemporer. Sesuai dengan situasi dan kondisi,
tingkat pengalaman dan pengetahuan masyarakat, maka cerita-cerita yang menarik
adalah cerita yang mengandung masalah-masalah yang berkaitan dengan
kemerdekaan, kemakmuran, percintaan, keberhasilan suatu perjuangan dan
kemajuan-kemajuan perdaban manusia pada umumnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam
makalah ini menyangkut masalah sastra Indonesia. Adapun rumusan masalah
tersebut adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah
metode penelitian sastra dan pola dari Barat ?
2. Bagaimanakah
warna lokal Sunda dan Sundalogi?
3. Bagaimanakah
telaah sastra akademis identik dengan keformalan?
4. Bagaimanakah
awal dan kelanjutan penelitian apresiasi sastra?
5. Bagaimanakah
mencegah verbalisme literer?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini didasarkan pada
rumusan masalah yang telah disusun sebelumnya. Adapun tujuan dari makalah ini
adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan
dan menjelaskan metode penelitian sastra dan pola dari Barat.
2. Mendeskripsikan
dan menjelaskan warna lokal Sunda dan Sundalogi.
3. Mendeskripsikan
dan menjelaskan telaah sastra akademis identik dengan keformalan.
4. Mendeskripsikan
dan menjelaskan awal dan kelanjutan penelitian apresiasi sastra.
5. Mendeskripsikan
dan menjelaskan mencegah verbalisme literer.
D. Manfaat
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah serta
tujuan yang telah dipaparkan maka penulisan makalah ini memiliki manfaat bagi
berbagai pihak. Adapun manfaat dari makalah tersebut sebagai berikut.
a.
Bagi
pembaca
Makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan pembaca mengenai
sastra Indonesia, yakni metode penelitian sastra dan pola dari
barat, warna lokal sunda dan sundalogi, telaah sastra akademis yang identik
dengan keformalan, awal dan kelanjutan penelitian apresiasi sastra, serta
mengenai verbalisme literer.
b.
Bagi
mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Makalah
ini diharapkan dapat memberikan motivasi
bagi mahasiswa, dalam menemukan, mengembangkan, dan melestarikan
kekayaan sastra Indonesia.
c.
Bagi
Penulis
Makalah ini diharapkan dapat mencapai tujuan
pembelajaran secara optimal, menghasilkan laporan yang sistematis, dan dapat
menjadi sumber bacaan dan rujukan untuk meneliti sastra Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Metode Penelitian Sastra dan Pola
dari Barat
Sastra sebagai objek
ilmu, tentu saja tak dapat mengelak dari kegiatan penelitian. Secara umum ada
dua jenis penelitian sastra. Pertama penelitian sastra sinkronis, yaitu
penelitian semasa sifatnya boleh penelitian karya individual (penelitian karya
satu persatu), boleh pula penelitian bandingan, kedua penelitian sastra
diakronis, penelitian karya yang memperhitungkan rentangan waktu kebelakang,
penelitian ini melibatkan banyak karya dan sifatnya historis komparatif.
Penelitian karya
individual (seterusnya dalam tulisan ini apabila dikatakan penelitian sastra,
maka yang dimaksud adalah penelitian karya individual) adalah dasar bagi
penelitian lainnya, baik ia penelitian diakronis, maupun ia penelitian
bandingan sekurun tanpa adanya penelitian karya individual,
penelitian-penelitian seperti tersebut tadi tidak mungkin ada.
Dibandingkan dengan
penelitian filogi, usia penelitian sastra ditanah air masih terbilang amat
muda, penelitian filogi telah berangkat awal abad ke sembilan belas, bahkan
lebih awal lagi dibawah rintisan alih-alih Belanda. Penelitian sastra baru
lepas kira-kira tahun lima puluhan yang dirintis oleh Falkultas Sastra Universitas
Indonesia.
|
Ternyata disamping usianya yang belia dalam masalah
penelitian, dari segi eksistensis ilmu sastra pun belum mantap, tak semantap
filogi, dalam kaitan ini Umar Junus,
misalnya mengatakan bahwa filologi meski mempunyai dasar teoritis yang lemah ia mempunyai metode penyelidikan
yang eksak (mitos dan komunikasi, sinar harapan, Jakarta, 1981, halama 6).
Senada dengan upacara Umar Junus adalah pernyataan Subagio Sastrowardojo, yang
dilontarkan seperti ini, “filologi boleh merasa beruntung telah menduduki
tempat yang kokoh sebagai studi akademis, sedangkan ilmu sastra masih harus
memperjuangkan diri untuk merebut tempat
itu ditanah air kita,” (Horison, no 3, th 1983. Halaman 133). Pernyataan
Subagio itu adalah bagian dari uraian makalahnya yang dibawahkan dalam satu
seminar yang diselenggarakan oleh LRKN-LIPI 20 Januari 1983, di Jakarta yang
berjudul yang dibutuhkan adalah sikap ilmiah terhadap sastra.
Dibagian dalam makalah
sastra, Subagio menghimbau agar penelitian sastra memperhatikan berbagai aspek
pendukungnya, yang termasuk si pengarang, mengapa dia menulis karya sastra.
Bagi Subagio, penelitian yang tak multiaspek, penelitian strukturnya saja
antara lain tidaklah termasuk penelitian yang ilmiah.
Sebetulnya ajakan akan
penelitian multiaspek itu telah, disuarakan A.Teeuw kurang lebih dua tahun
sebelumnya, pada ceramahnya dalam rangka memperingati hari ulang tahun Balai Pustaka
yang ke-64, tanggal 22 September 1981 di Jakarta. Dalam pendekatan modern
sastra dan karya sastra pertama-tama ingin di pertahankan dalam hakikatnya yang
paling mendasar, yaitu sebagai tindakan komunikasi dimana segala faktor, dalam
komunikasi harus diperhitungkan dan diberikan tempat yang selayaknya, ”adapun”
segala faktor” yang dimaksud Teeuw ialah: pengarang, pembaca, pesan karya,
struktur karya, sistem tanda sebagai pembawa pesan, hubungan tanda dengan dunia
nyata, hubungan pesan dengan sistem
bahasa dan aspek estetisnya. Teeuw menamakan pendekatan itu sebagai pendekatan
semiotik.
Berbagai teori sastra Barat
telah masuk ditanah air, dan teori-teori itu telah banyak diterapkan dalam
telaah, kritik dan penelitian, di kalangan akademis maupun nonakademis, ditulis dalam media ilmiah formal maupun
ditulis dalam media massa, umum maupun
khusus, khusus telaah dan kritik. Pada dasarnya juga adalah penelitian dalam
bentuk lain.
Setiap penelitian
ilmiah, paling tidak memiliki tiga komponen-komponen kerja yaitu ,teori,
metode, pendekatan, dan teknik. Dalam penelitian sastra ketiga komponen sering amat kabur.
Untuk melihat kekaburan ini, mungkin ada baiknya kita membandingkannya dengan
penelitian bahasa, meskipun harus diakui
bahwa bahasa bukanlah sastra dan sastra bukan pula bahasa, meskipun keduanya
amat erat berhubungan. Disini relevansi perbandingan tidak terlihat dari
hakikat objeknya, tetapi dari sudut keilmuannya yang seharusnya mempunyai
kaidah-kaidah yang sama, paling tidak dan tidak terlalu berbeda.
Komponen-komponen
penelitian bahasa (sinkronis) sosoknya amat jenis. Sudaryanto (doctor linguistic) misalnya, dalam
metode linguistic (falkultas sastra
dan kebudayaan, Universitas Gadjah Mada, Yogyajarta, 1982), membedakan “teori”,
“metod”, dan “teknik”. Kata, “teori” adalah “kerangka pikiran mengenai objek” ( dalam bahasa misalnya,
pandangan bahwa bahasa itu sebagi
perpaduan komponen bunyi, pikiran dan
situasi bahwa bahasa itu bersifat linier
dan dimana linieritas itu menjadi dasar adanya satuan lingual, seperti kata, frase dan seterusnya dalam penelitian teori
itu menjadi “tuntunan kerja”.
“Metode” adalah “cara
kerja” penjabar teori dalam munuju objek yang diteliti dan “teknik” adalah
“alat” penjabar metode yang langsung “menyentuh” objek, jadi teori dioperasikan
oleh metode atau pendekatan dan metode dioperasikan oleh teknik.
Dalam penelitian
bahasa, Sudaryanto membedakan tiga metode, yang masing-masing dioperasikan oleh
teknik dasar dan sejumlah teknik lanjutan sebagai contoh , metode analisis / pengolahan data,
yang didalamnya antara lain mengandung metode (submetode pen) “distribusional” yaitu berupa
penghubungan antara fenomen
kebahasaaan dalam bahasa itu sendiri seperti “ kata benda itu adalah kata
tertentu yang dapat bergabung dengan kata bukan (dan bukannnya dengan tidak ),
dapat bergabung dengan kata petunjuk bilangan dengan kata kerja transitif dan
menjadi objek kata kerja transitif
tersebut dan sebagainya” dalam operasionalisasinya ( dalam hal itu
unsur langsung “, dan teknik lanjutan ,”delesi” atau penghilangan, substitusi”
atau penggantian, “ekspansi” atau perluasan,” interupsi” atau penyisipan,”
permutasi” atau pembalikan, dan “paraphrase”
atau pengubahan bentuk.
Kini dalam penelitian sastra,
khususnya yang berlaku dikalangan akademis sastra, tingkat sarjana maupun
pascasarjana, dikenal antara lain pendekatan/ metode penelitian sastra yang dianggap “sah”, yaitu metode strukturalisme dan semiotic atau strukturalisme
dinamik
Yang pertama berpangkal
teori strukturalisme, dengan menganggap
karya sebagai struktur, yaitu satu keseluruhan yang bulat yang terdiri atas
bagian-bagian dimana arti bagian maupun
keseluruhan ditentukan oleh saling hubungan antara bagian dengan bagian atau
bagian dengan keseluruhan. Disamping itu struktur mengenai transformasi antar
bagian dan pengaturan diri, (self regulation) antar bagian, dalam teori strukturalisme karya dianggap otonom,
lepas dari segala sesuatu diluarnya.
Yang kedua adalah
pendekatan atas dasar paham bahwa karya
sastra selain sebagai struktur juga ia adalah tanda yang terikat oleh
pengarang, pembaca, realitas dan berbagai konvensi.
Terlihat bahwa dalam
penelitian sastra, metode identik dengan teori, secara terminologis selanjunya penelitian sastra belum punya jalur jabatan
konkret dalam mengoperasikan metode kedalam teknik penelitian, sebagai contoh
dalam penelitian roman/novel dengan pendekatan strukturalisme, setelah diketahui unsur-unsur novel sebagi
pendukung keseluruhan karya, sampai kini belum didapatkan bagaimana teknik
melacak makna unsur satu dalam unsur lain, transformasi unsur satu kedalam yang
lain. Hal yang sama berlaku bagi pendekatan strukturalisme
dinamik.
Dalam berabagi kemajuan, termasuk ilmu sastra kita
selalu tertinggal dari dunia Barat . Meskipun demikian kita masih beruntung
punya A. Teeuw yang mondar-mandir setiap tahun Netherland-Indonesia. Dalam
kedatangan di Indonesia beliau selalu membawa “oleh-oleh ilmu sastra” dari Barat.
Teori-teori yang berkembang di Indonesia kurun mutakhir ini sebagai berkat
jasanya.
Sementara itu, kegiatan
ilmu sastra di Barat kini cukup bergolak. Banyak hal berada diluar pengamatan
kita, karena kelemahan berbagai faktor yang kita miliki tak mustahil penelitian
sastra di Barat kini. Sedangkan menuju ke titik kesempurnaannya, antara lain ditemukannya
polarisasi metode penelitian kedalam
operasional tekniknya.
B. Warna Lokal Sunda dan Sundanologi
Andai kata ada anggapan
bahwa apa yang menjadi objek kajian Sundanologi dan sederet “logi-logi” lain yang telah dan akan
didirikan pemerintahan aspek-aspek dan aspek-aspek budaya yang telah tertimbun bongkahan zaman , maka anggapan
demikian adalah keliru. Budaya tradisional dan budaya masa lalu hanyalah sebagaian
objek kajian lembaga-lembaga seperti diatas. Dalam kerangka keseluruhan
kajiannya, tentulah fokus perhatian Sundanologi dan sejenisnya juga mengurung aspek budaya kontemporer aspek
budaya yang masih dinapasi udara. Bukankan
dalam konteks suatu pengembangan budaya, justru budaya kontemporer itulah yang
menjadi ajang kaitan bagi hasil kajian budaya tradisional, mengigat, budaya
kontemporer sifatnya”praktis”, karena ia masih hidup dan secara langsung masih
dihidupkan oleh para pendukungnya.
Kalaupun ada kesan
bahwa objek kajian institusi-institusi semacam Sundanologi di atas adalah
budaya tradisional dan budaya masa lampau, barangkali karena kedua jenis budaya
tersebut dalam kerangka penelitian dan pengkajiannya sudah cukup memberikan
jarak pada kita, sehingga lebih “memudahkan”
kita menginventarisasi dan menganalisinya ketimbang budaya kontemporer yang
masih melekat erat sekeliling kita.
Sastra Indonesia modern
sebagai bagian dari budaya kontemporer yang tak bisa melepaskan diri sepenuhnya
dari nilai-nilai setempat dan tradisional. Nilai-nilai setempat dan
tradisional tersebut paling kentara pada
karya sastra berwarna lokal. Kedudukan warna lokal itu sendiri dalam karya
sastra Indonesia sebenarnya berangkat dari warna lokal, yaitu warna lokal Minangkabau.
Satu warna lokal yang amat pekat yang mendominasikan corak sastra Indonesia
sebelum perang.
Terlepas dari motif
apapun yang mendorong hadirnya warna lokal, yang terang mengampungnya warna
lokal tersebut dipermukaan sastra Indonesia memiliki daya pesona tersendiri. Ia
telah memberikan keragaman dan variasi pengucapan. Ia bisa berperan sebagai
papan penguak kemonotonan ekspesi dan persoalan sastra yang sering membosankan
pembaca dalam efek yang paling ujung, bahkan warna lokal sering dianggap
memiliki eksotisitas karena kekhasan dan kememukauannya. Dalam hal seperti itu
misalnya, warna lokal dalam sastra Amerika dapat dijadikan sebagai salah satu
contoh.
Secara historis,
sejarah sastra Indonesia telah mencatat dua periode munculnya warna lokal
secara besar-besaran, yaitu periode sebelum perang dengan warna lokal
Minangkabau dan periode sesudah perang dengan warna lokal daerah Nusantara.
Tentu saja dua periode pemunculan warna lokal diatas, bukanlah dua periode yang
mutlak. Di luar keduanya sepanjang perjalanan sastra Indonesia, warna lokal
tetap hadir, serta kehadirannya itu juga tetap menujuk pada kenyataan sosial
budaya banyak daerah.
Adapun hakikat warna
lokal ialah realitas sosial budaya suatu daerah yang ditunjukkan secara
lamgsung oleh fiksionalitas suatu karya, secara intrinsik dalam konteks
struktur karya, warna lokal selalu dihubungkan dengan unsur-unsur
pembangkitnya, yaitu latar, penokohan, gaya bahasa dan suasana. Dalam konteks
sastra sebagai sistem tanda, warna lokal selalu dikaitkan dengan kenyataan
hidup dunia luar yang ditunjukkan tanda tersebut , dalam hal tersebut kenyataan
hidup iu ialah kenyataan sosial budaya dalam arti yang luas yang antara lain,
berkomponenkan aspek-aspek adat-istiadat, agama, kepercayaan, sikap dan
filsafat hidup kesenian, hubungan sosial, struktur sosial atau sistem
kekerabatan.
Komponen-komponen
kenyataan sosial budaya yang ditunjuk karya sastra diatas tentu saja bukan bahan-bahan “mentah” yang sifatnya antropologis, sosiologis, agamawi, filsofis dan sebagainya. Tetapi bahan-bahan
yang telah direka demi kepentingan
fiksionalitas dan estetisitas sesuai dengan hakikat sastra . Meskipun demikian
aspek-aspek kenyataan diluar dunia rekaan itu tetap berfungsi sebagai bahan
kajian demi pemahaman karya sastra.
Warna lokal Sunda yang
secara kuantitatif hadir agak banyak pada/ dan setelah tahun lima puluhan, yang
sebelumnya telah dirintis pada masa sebelum perang (ingatan roman pertemuan jodoh dari Abdul Muis) dan katak hendak menjadi lembu dari Nur
Sultan Iskandar). Menunjuk pada kenyataan-kenyataan sosial budaya Sunda dengan
segala aspek nya.
Karakteristik dari
warna lokal Sunda diatas (juga warna lokal lainnya non-Sunda) ialah kedudukannya
secara intrinsik dalam karya sastra Indonesia, ia sebagai struktur rekaan
dikomunikasikan dengan media bahasa Indonesia. Sudah pasti para pengarang karya
sastra berwarna lokal Sunda memperhintungkan publik Indonesia sebagai
pembacanya. Selain itu, warna lokal Sunda dalam sastra Indonesia modern, juga
merupakan bagian dari tekstologi
cetakan yang dipublikasikan secara massal dan besar-besaran. Dengan demikian ia
mempunyai wilayah jangkau yang luas, sejalan dengan itu sudah tentulah realitas
ke Sundaan yang ditunjukkan punya nilai jangkau dan komunikasi yang luas pula.
Hal itu akan berbeda misalnya dengan aspek-aspek ke Sundaan yang tertuang dalam
bahasa Sunda, lebih-lebih dalam bentuk tekstologi
lisan dan tulisan, didalam hal yang terakhir lebih-lebih lagi dalam tulisan
Sunda dan Sunda Kuno. Nilai jangkau dan komunikasinya sudah pasti lebih sempit
dari yang disebut diatas.
Sementara itu, mengingat
sastra modern sebagai bagian budaya komtemporer
yang masih hidup, dihidupi dan dihidupkan secara langsung oleh
masyarakat pendukungnya, maka dengan sendirinya sastra modern yang mengandung
warna lokal termasuk warna lokal Sunda
dan lebih bernilai praktis . Hal seperti itu akan berbeda misalnya dengan tekstologi tradisional, lebih-lebih
dengan tulisan Sunda yang penghayatannnya memerlukan seperangkat kerangka teori
dengan sendirinya pemahaman dan peghayatan demikian, harus jauh melingkar dulu
serta dapat dibayangkan perebutan maknnya juga akan jauh lebih sulit didalam hal
diatas, pembandingan kedua persoalan tidaklah mengandung arti yang satu lebih
inferior atau superior dan yang lain. Pembandingan hanya menujuk pada nilai praktisnya.
Bagaimanapun warna lokal
Sunda di tengah karya sastra modern
mengandung nilai komunikatif bagi saling pengertian antar daerah dalam kerangka
Indonesia, nilai tersebut pastilah sejalan dengan tujuan Sundanologi yang
berusaha menggali dan mengkaji setiap aspek kebudayaan senda demi sumbangannya
kepada kepentingan kebudayaan nasional.
Selanjutnya, disatu hal
yang pasti warna lokal Sunda dalam sastra Indonesia, langsung dapat disambut
oleh orang-orang se Indonesia karena ia dikomunikasikan dalam bahasa Indonesia.
Tapi tentu saja sambutan itu baru ada
ditingkat permukaan. Sambutan yang sebenarnya berupa pemahaman dan penghayatan
hanya mungkin terjadi apabila aspek-aspek tersebut sebagai hasil kajian
aspek-aspek tadi dan kajian terhadap aspek-aspek ke Sundaan tadi adalah tugas
yang diemban Sundanologi.
C. Telaah Sastra Akademis Identik
dengan Keformalan
Telaah sastra akademis
sering juga disebut kritik sastra akademis karena ia juga merupakan bagian dari
kehidupan kritik sastra dalam arti yang luas. Di Indonesia telaah di atas
sering dipertentangkan enggan kritik sastra populer, yaitu kritik sastra yang
terhidang di lembaran koran dan majalah. Polarisasi kedua jenis telaah atau
kritik ini atas terkadang sering kurang menguntungkan bagi kedua jenis telaah
yang dipertentangkan tadi, jadi bagi dua dunia kritik sastra secara umum.
Sampai sekarang
anggapan orang terhadap telaah sastra akademis umumnya ialah : kaku, tak enak
dibaca, penuh tetek bengek referensi; sedangkan anggapan orang-orang terhadap
kritik sastra populer, kira-kira dangkal, ringan, kurang cermat dan teliti dan
cenderung meniadakan sumber acuan. Anggapan demikian tentulah tidak sepenuhnya
benar. Banyak telaah sastra akademis yang enak dibaca, luwes dalam penyajian di
tenggah lilitan keformalan. Sebaliknya, banyak telaah sastra akademis yang
ringan meski bernaungan di bawah sekian puluh sumber pustaka, sebaiknya telaah
sastra populer banyak yang berbobot meski merupakan etusan spontan dan tak
diembeli deretan daftar referensi. Yang perlu diingat pula ialah bahwa predikat
populer bagi telaah koran dan majalah lebih bersifat mengacu pada alat
publikasi yang menjangkau khalayak luas, sedangkan dari segi isi dan penyajian
banyak dari telaah demikian mirip telaah demikian mirip telaah sastra akademis
terutama telaah yang berasal dari makalah, atau telaah sebagai hasil suatu
studi.
Secara kuantitatif
telaah sastra akademis oleh jumlah halaman yang banyak. Untuk skripsi umum
minimal berkisar sekitar 50-60 halaman kuarto, untuk tesis sekitar 100-200
halaman dan untuk disertasi umumnya sekitar 500-1000 halaman. Sebagai bahan
bandingan telaah sastra populer biasanya berkisar sekitar 4-10 halaman folio
atau 5-12 halaman kuarto dengan catatan pengetikan telaah-telaah tadi bersepasi
rangkap.
Sikap kuantitatifnya
yang berukuran banyak itulah antara lain yang menyebabkan berbagai bentuk
keformalan dapat dituangkan kepadanya dalam telaah sastra akademis. Misalnya
saja, sebelum sampai kepada analisis dan kesimpulan telaah, karya tulis
terlebih dahulu diawali dengan kata pengatar dan pendahuluan; disamping itu ada
daftar isi, daftar pustaka, tabel, diagram dan lain-lain. Secara metodologis, biasanya dalam pendahuluan,
dikemukakan juga antara lain tujuan penelitian, landasan teori dan sebagainya.
Sifatnya yang panjang itu pula menyebabkan suatu kebahasan yang tertuang dalam
bab, bisa beranak pula menjadi subbab dan sebagainya. Itulah salah satu ciri
telaah sastra akademis.
Ciri lainnya yang cukup
menonjol dalam ligkup nonteknis dan metodologis ialah bahwa uraian apapun yang
akan dikemukakan harus jelas dan eksplesit dasar pijakannya, harus tegas
landasan teoritisnya baik dalam tataran makro maupun dalam tataran mikro. Dalam
tataran makro misalnya analisis sebuah novel berdasarkan pendekatan
strukturalisme sedangkan dalam takaran mikro, misalnya pengupasan alur roman berdasarkan
teori alur Boulton dan sebaiknya.
Tekadang untuk sampai
pada saat landasan teoritis, yang “diinginkan”
seorang peneliti terlebih dulu harus menjalarkan sekian deret pendapat
para ahli dari ahli. Dalam hal demikian tentulah yang paling ideal pendapat
ahli dari menjalarkan sekian deret pendapat para ahli dari ahli. Dalam hal
demikian tentulah yang paling ideal pendapat ahli dari sumber pertama. Ada
beberapa sumber pertama yang dianggap cukup berbobot, sehinnga sekian
penelitian demi kepentingan landasan teoritisnya berorientasi pada sumber
tersebut, misalnya konsep alur dari aspek yang sama dari sumber tersebut,
misalnya konsep alur dari Wellek Scholes. Dalam hal demikian tak mengherankan
apabila telaah sastra akademis ( juga telaah disiplin lainnya) mengesankan
pemolaan dan “kebekuan”, hal yang sering dinegatifkan oleh kritik sastra
populer yang ingin mengesankan “inovotivitass”
dan “kreatifitas”. Hal di atas memang tak terhidar dalam telaah
sastra akademis, akibat tuntunan keformalanya. Salah satu akibat tuntunan diatas
ialah, kesan bahwa pendapat pribadi penulisnya sendiri hampir tidak ada karena
tertimbun oleh bongkah-bongak pendapat orang lain.
Efek negatif dari
banyaknya pendapat oang lain yang dikutip bisa saja muncul. Karena keformalan menghalalkan
“pemolaan” maka peniliti yang malas dapat saja malas dapat saja “cemoot sana
cemoaat sini” berbagai kutipan dari hasil penelitian orang lain tanpa diuji
keakuratanya. Dalam hal demikian tentu saja yang tadi taruhan adalah
integritas/ kejujuran si peniliti sendiri.
Telaah sastra akademis
sebagai bagian dari kehidupan telaah atau kritik sastra Indonesia secara
keseluruhan, meski secara gradual memiliki corak yang berbeda dengan kritik
sastra populer, secara esensial ia tetap memberi peluang gerak yang luas bagi
“inovativitas” dan “ kreatifitas”. Justru segala jerat keformalan dipasang,
untuk diarak demi munculanya suatu penemuan baru. Keformalan tidak menghalangi
kebebasan peneliti menyatakan pendapatnya sendiri, apalagi pendapat yang
bersifat interpreatif, karena ilmu sastra termasuk cabang ilmu ideofrafis yang
memberi peluang pada segala macam penafsiran dengan kadar yang cukup tinggi.
Telaah sastra akademis
inheren dengan keformalan, yang dalam banyak hal tidak dapat dibandingkan
dengan telaah atau kritik sastra populer. Menghadapi telaah sastra akademis
diperlukan sikap dan kesiapan intelektual yang lain yang berbeda dengan menghadapi
kritik sastra populer. Akan halnya telaah sastra akademis yang bayak tertimbun
dirak-rak buku Universitas sehingga terkesan tidak memasyarakat, itu juga
merupakan bagian dari keformalan yang bersifat prosedural. Untuk
memasyarakatkan mereka diperlukan prosedur tertu pula, antara lain diterbitkan
dalam bentuk buku.
D. Awal dan Kelanjutan Penelitian
Apresiasi Sastra
Terlalu sering masalah
apresiasi sastra diperbincangkan tetapi sesering itu perbincangan dilakukan,
sesering itu pula saling tuduh terjadi. Masalahnya, hasil perbincangan acap
kali tetap bertumbuu pada kesimpulan yang itu-itu juga, yaitu tingkat apresiasi
sastra masyarakat rendah padahal semua itu baru dugaan. Ada sifat dugaaan
inilah yang mejadi pangkal lahirnya serentetan tuduh-menuduh, dengan munculnya
sejumlah kambing hitam yang menjadi sasaran tuduhan tersebut. Guru-guru Sastra (Bahasa Indonesia) di tiap
jenjang lembaga pendidikan formal dituduh tak mampu mengajar, padahal
sekolah-sekolah hingga kini dianggap tulang punggung peningkataan apresiasi.
Lalu, giliran sastrawan yang kena. Mereka dilontari makian dan terlampau
aneh-aneh dalam mencipta.
Selanjutnya, mata
rantai tuduhan tak berhenti disana. Kini, kritikus yang dianggap tak becus.
Mereka dituduh tak bisa membangun jembatan antara karya sastra dan pembaca
karena kritik-kritiknya yang terlampau toeritis itu. Akhirnya pembaca tak luput
pula dari makian. Mereka dianggap terlampau pasif. Tidak dapat mengikuti
perkembangan sastra yang maju pesat.
Dalam situasi yang
serba berbelit itu sebuah pertanyaan pun muncul. Benarkah kondisi kehidupan apresiasi
sastra di tanah air demikian rawan? Jawabnya belum tentu. Pertama, karena belum
ada penelitian yang luas dan tuntas tentangnya dan kedua karena apresiasi
sastra merupakan masalah yang rumit, luas dan kompleks yang melibatkan berbagai
faktor.
Barangkali untuk
menjawab persoalan tingkat apresiasi sastra masyarakat kita seperti di atas
tadi pusat pembinaan dan pengembangan bahasa Jakarta, mencoba melakukan
langkah-langkah pertama bagi pengenalan bagaimana sosok apresiasi sastra yang
sesungguhnya. Itu dirintis dengan melakukan serangkaian kerja penilitian yang
hasilnya telah banyak dipublikasikan walaupun yang memilikinya terbatas yaitu
kalangan tertentu saja.
Dibandingkan dengan kelangkaan
atau barangkali ketiadaan penelitian apresiasi sastra selama ini, maka kerja
penelitian yang dilakukan pusat bahasa itu yang bekerja sama dengan berbagai Universitas,
boleh dikatakan banyak juga. Kelihatannyya pada tahap pertama kelompok
masyarakat yang menjadi objek penelitian ialah siswa SMA dari berbagai provinsi
di tanah air. Pilihan langkah awal jatuh pada siswa-siswa lanjutan atas itu
mungkin didasari alasan bahwa pertama pendidikan formal tetap dianggap basis
apresiasi sastra dan kedua jenjang lanjutan atas merupakan tataran terakhir
bagi pengenalan sastra umum dalam jalur sekolah. Setelah itu mereka akan
berurusan dengan spesialisasi apabila mereka melanjutkan studi ke perguruan
tinggi, kecuali yanag memilih Fakultas Sastra atau UPI dengan jurusan yang
mengandung sastra.
Dari banyak penelitian
apresiasi sastra yang objek penelitiannya siswa-siswa SMA, terdapatlah
contoh-contoh di bawah ini, berupa hasil penelitian-penelitiaan tersebut.
1. Kemampuan mengapresiasi Cerita
Rekaan Siswa SMA DKI Jakarta (pusat pembinaan dan
pengembangan bahasa - PPPB 1981). Tahun
penelitian, 1979, dengan peneliti: Siti Chandiah, Brahim, Zaniar Rachman,
Djamilah dan Sukartini Hartono.
2. Minas membaca sastra SMA Kelas III
DKI Jakarta (PPPB, 1981). Tahun penelitian 1976
dengan peneliti: J.U. Nasution, Basyrul Hanidy, Sapardi Djoko Damono dan
Suhardjo.
3. Kemampuan mengapresiasi prosa murid
SPG di Jawa Timur (PPPB, 1981). Tahun penelitian. 1977,
dengan peneliti Mikhsin Akhmad dan kawan-kawan.
4. Kemampuan Apresiasi Sastra Murid
SMA Jawa Timur (PPPB, 1981). Dengan peneliti: Abdul
Rachman H.A., Ny A Aminoeddin, Bassenang dan Widodo.
Tentulah
peneliti-peneliti yang berpretensi ilmiah seperti di atas yang secara konsepsional, procedural, maupun
operasional dilandasi teori dan metodologi tertentu yang berakhir dengan suatu
kesimpulan. Dalam kaitan ini adalah menarik kesimpulan yang dihasilkan oleh
penelitian nomor empat yang diatas kira-kira kalau diutarakan secara umum
berbunyi sebagai berikut. Murid-murid SMA Jawa Timur tidak mampu menunjukkan
gaya tuturan/bentuk gaya penceritaan karya prosa fiksi tetapi mereka mampu
mengapresiasi keseluruan unsur intrinsik karya prosa fiksi tersebut. Dalam hal
puisi, siswa-siswa di atas juga mampu mengapresiasi keseluruhan unsur
intrinsiknya, sedangkan selangkah lebih jauh lagi, murid-murid SMA di atas juga
mampu mengapresiasi keseluruhan karya sastra dalam hal ini prosa dan puisi.
Butir-butir kesimpulan
yang lainnya ialah bahwa terdapat perbedaan tingkat kemampuan apresiasi antara
jurusan IPA, IPS dan Bahasa, sedangkan secara keseluruhan murid SMA Negeri
Jatim tersebut tidak mampu menemukan dan menunjukkan nilai etik/moral kehidupan
budaya dalam karya sastra.
E. Mencegah Verbalisme Literer
Asrul Sani dan
kawan-kawannya pada awal tahun limu puluhan pernah melaporkan tuduhan impase
atau keseluasan dalam sastra Indonesia. Kata mereka, sastra awal tahun lima
puluhan cuma berlingkar seputar cerpen dan sajak, dua genre sastra yang amat
akrab dengan majalah. Karena tuduhan itu dilaporkan dari negeri Belanda oleh
Asrul Sani dan rekan-rekannya yang sedang bersimposium di sana, ia tak urung
membuat berang para penelaah sastra ditanah air.
Menghadapi tuduhan
demikian, dalam symposium sastra yang di selengarakan oleh Fakultas Sastra
Universitas Indonesia di Jakarta sekitar masa itu juga, tak lebih tak kurang seorang.
H.B.Jassin memberondongkan bantahan dengan mengajukan sejumlah bukti yang
meyakinkan, kualitas maupun kuantitas, tentang masih segar-bugarnya sastra
Indonesia, jauh dari kelesuan atau impasse.
Yang perlu menjadi
bahan cacatan pula ialah bahwa sinambungannya pemunculan hasil karya itu selalu
diimbangi oleh tingkat kreativitas yang tinggi sehingga pengucapan sastra
Indonesia modern tidak pernah monoton, bahwa kreativitas itu sering berjalan
mendahului produktivitas, dalam arti karena barunya pengucapan atau ekspresi,
banyak karya yang tak dipahami masyarakat.
Meningkatnya jumlah
karya sastra setiap tahun pembaca ditantang oleh karya tersebut untuk menjadi
penikmat, pembaca Indonesia sering juga memberi respons sebagai penikmat.
Mungkin perlu dibubuhkan garis bawah tingginya cetak ulang pada novel-novel
konsentrasional sebelum perang antara lain disebabkan novel memberikan jalan
pada pembaca untuk turut “mendengarkan” seperti mereka menyimak dongeng
tradisional.
Cetak ulang tinggi
demikian bagi kehidupan apresiasi sastra amat baik dampaknya. Cetak ulang tinggi
itu memudahkan penikmatan karena karya tersedia terus. Terutama bagi kalangan
pelajar dan mahasiswa hal demikian memungkinkan penikmat langsung. Lain halnya
dengan karya sastra yang tidak mengalami cetak ulang atau memahami juga cetak
ulang tetapi angkanya amat rendah. Karya-karya demikian biasanya langsung
tertimbun waktu tak sempat muncul kembali ditengah khalayak penikmat. Meskipun
demikian ia terabdikan juga dalam
buku-buku pengajaran sastra, kritik dan esai, reseni dan sorotan, buku sejarah
sastra, atau biografi sastrawan.
Pada sastra pujangga
baru dan sastra zaman Jepang serta periode sesudahnya gejala demikian sama
terlihat. Buku-buku langka demikian, benar tidak bernilai komersial sehingga
mungkin penerbit tidak mau menanggung risiko untuk mencetak ulangnya kembali,
namun harus diingat bahwa ia benilai sastra dan budaya. Dilihat dari segi kesastraan,
hanya tercatatnya mereka dalam sejarah sastra atau ulusan, serta kritik esai,
akan menumbuhkan verbalisme terbelakang. Pembaca hanya kenal nama tak kenal
rupa dan makna. Bagi kepentingan ilmu dan teori sastra serta solusi serta ia
amat kurang urgen kehadirannya. Adapun
dari segi budaya ia merupakan bagian dari kekayaan ekspresi bangsa, bangsa yang
sedang membentuk bagian dari kekayaan budaya di atas terasa lebih tinggi lagi
karena sastra Indonesia modern memakai medium bahasa Indonesia, bahasa persatuan,
bagai ekspresinya.
Melihat berbagai
urgensi dan relevansnya, sudah tiba saatnya badan-badan yang berkomponen dengan
penerbitan sastra membuat redisi karya langka modern itu. Hal yang sama
dilakukan pula oleh penerbit pustaka rakyat yang antara lain telah mencetak
ulang dan yang tak kunjung padam, anak perawan di sarang penyamun, serta tak
putus sirundung malang, ketiganya novel dari Sultan Takdir Alisyahbana.
Demikianlah dalam seluruh kiranya percetakan ulang itu terlalu sedikit. Menyadari
hal itu semua, penerbit Pemerintah, Balai Pustaka, bekerja sama dengan proyek
penerbit buku bacaan dan sastra Indonesia dan daerah, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, mulai merintis mengedisikan kembali karya-karya sastra modern
langka tersebut ditengah pengedisian sastra tradisional yang dijadikan
prioritas pertamanya.
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Secara umum ada dua
jenis penelitian sastra yaitu penelitian sastra sinkronis dan penelitian sastra
diakronis. Kini dalam penelitian sastra,
khususnya yang berlaku dikalangan akademis sastra, tingkat sarjana maupun
pascasarjana, dikenal antara lain pendekatan/metode penelitian sastra yang
dianggap “sah”, yaitu metode strukturalisme
dan semiotic atau strukturalisme dinamik. Kegiatan ilmu sastra di Barat kini cukup bergolak.
Banyak hal berada diluar pengamatan kita, karena kelemahan berbagai faktor yang
kita miliki tak mustahil penelitian sastra di Barat kini. Sedangkan menuju ke
titik kesempurnaannya, antara lain ditemukannya polarisasi metode penelitian
kedalam operasional tekniknya.
Warna lokal Sunda yang
secara kuantitatif hadir agak banyak pada tahun lima puluhan. Warna lokal Sunda
di tengah karya sastra modern mengandung nilai komunikatif serta saling
pengertian antar daerah dalam kerangka Indonesia. Nilai tersebut pastilah
sejalan dengan tujuan Sundanologi yang berusaha menggali dan mengkaji setiap
aspek kebudayaan Sunda demi sumbangannya kepada kepentingan kebudayaan
nasional. Banyak telaah sastra akademis yang enak dibaca, luwes dalam penyajian
di tenggah lilitan keformalan. Telaah sastra akademis inheren dengan
keformalan, yang dalam banyak hal tidak dapat dibandingkan dengan telaah atau
kritik sastra populer.
Pusat pembinaan dan
pengembangan bahasa Jakarta, mencoba melakukan serangkaian kerja penelitian.
Kelompok masyarakat yang menjadi objek penelitian ialah siswa SMA dari berbagai
provinsi di tanah air.
|
Asrul Sani dan kawan-kawannya pada awal tahun lima
puluhan pernah melaporkan tuduhan impase atau keseluasan dalam sastra
Indonesia. Menghadapi tuduhan demikian, dalam symposium sastra yang di
selengarakan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia di Jakarta sekitar masa
itu juga, tak lebih tak kurang seorang. H.B.Jassin memberondongkan bantahan
dengan mengajukan sejumlah bukti yang meyakinkan, kualitas maupun kuantitas,
tentang masih segar-bugarnya sastra Indonesia jauh dari kelesuan atau impasse.
Melihat berbagai
urgensi dan relevansinya, penerbit Balai Pustaka yang antara lain telah
mencetak ulang yang tak kunjung padam,
anak perawan di sarang penyamun,
serta tak putus sirundung malang,
ketiganya novel dari Sultan Takdir Alisyahbana. Demikianlah dalam seluruh
kiranya percetakan ulang itu terlalu sedikit. Menyadari hal itu semua, penerbit
Pemerintah, Balai Pustaka, bekerja sama dengan proyek penerbit buku bacaan dan
sastra Indonesia dan daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, mulai
merintis mengedisikan kembali karya-karya sastra modern langka tersebut
ditengah pengedisian sastra tradisional yang dijadikan prioritas pertamanya.
B. Saran
Di sarankan kepada
pembaca hendaknya semakin menumbuhkan rasa ingin tahu dan kepedulian terhadap
sastra Indonesia. Hal tersebut bertujuan untuk
memperkaya dan memperdalam pengetahuan mengenai sastra Indonesia.
Kepada mahasiswa
diharapkan agar dapat menggali, meneliti dan mengkaji sastra-sastra daerah yang
ada di Indonesia. Hal tersebut dimaksudkan untuk memperluas pengetahuan
mahasiswa serta sebagai upaya dalam melestarikan sastra Indonesia.
Bagi penulis lain,
diharapkan agar memperdalam kajian
mengenai sastra Indonesia, dengan menganalisis dan mengkaji sastra
Indonesia. Hal tersebut dilakukan demi memperoleh pemahaman yang mendalam
mengenai sastra Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
|
Kusman K. Mahmud. (2013). Sastra Indonesia Daerah. Bandung: Angkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar